مسؤولو جمعية نهضة العلماء الفرعى
Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama
Branch Managers of Nahdlatul Ulama

Search
Close this search box.

Jum’at-Sabtu, 04-05/08/2023

ZIARAH MAKAM PARA MUASSIS NU DAN WALIYULLAH JATIM GP ANSOR MANGUNSUMAN

GP Ansor NU beserta Banser NU Mangunsuman melaksanakan Ziarah Makan Para Muassis NU dan Waliyullah Jatim pada hari Jumat Malam, 4 Agustus 2023 pukul 23.00 WIB

Pemberangkatan ziarah tersebut diawali dengan baca Tahlil di Masjid Ali Sayid Mangunsuman yang dipimpin oleh K. MUKAYAN (Ketua Lembaga Dakwah NU Mangusuman).

1. Kholil al-Bangkalani

Al-‘Aalim Al-‘Allaamah Asy-Syekh Al-Haajji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi’i atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil, lahir di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, sekitar tahun 1835 Masehi atau 9 Shofar 1252 Hijriyah – wafat di Martajasah, Bangkalan, Bangkalan, sekitar tahun 1925 Masehi[2] adalah seorang Ulama kharismatik dari Pulau MaduraProvinsi Jawa TimurIndonesia.

Di masyarakat santri, Syaikhona Kholil juga dikenal sebagai Waliyullah. Seperti cerita Wali Songo, banyak cerita kelebihan di luar akal atau karamah Syekh Kholil terkisah dari lisan ke lisan, terutama di lingkungan masyarakat Madura.

Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Buyut beliau Syarifah Khodijah putri Sayyid Asror Karomah bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Ali Akbar bin Sayyid Sulaiman Kanigoro Mojoagung. sedangkan ayah Kiai Abdul Latif Adalah Kiai Hamim bin Muharram bin Abdul Karim. Pada usia 24 tahun, Syekh Kholil menikahi Nyai Azzah, putri Lodra Putih dan dikaruniai 2 orang anak yakni Nyai Khotimah dan Kiai Muhammad Hasan.

Syekh Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memiliki keistimewaan yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fikih dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda.

Setelah dididik, orang tua Mbah Kholil kecil kemudian mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren LangitanTubanJawa Timur. Dari Langitan ia pindah ke Pondok Pesantren CangaanBangil, Pasuruan. Kemudian ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Pondok Pesantren Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.

Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Di samping itu ia juga merupakan seorang Hafidz Al-Quran dan mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah.

Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Utuk ongkos pelayaran bisa ia tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukannya bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat.

Karya Mbah Kholil adalah kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ini merupakan kitab matan (inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab setebal 52 halaman ini, adalah bukan hanya karena kemasyhuran penulisnya, melainkan kitab ini telah menampilkan landscape keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi demikian lugas dan mudah dipahami.

Berikut adalah Para Auliya Jawa Timur  yang merupakan murid dari Syekh Kholil

  1. H. Muhammad Hasan Sepuh– pendiri Pesantren Zainul Hasan GenggongProbolinggo
  2. H. Hasyim Asy’ari– pendiri Nahdlatul ‘Ulama, pendiri Pondok Pesantren TebuirengJombang
  3. H. Abdul Wahab Hasbullah– pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang
  4. H. Bisri Syamsuri– pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang
  5. H. Manaf Abdul Karim– pendiri Pondok Pesantren LirboyoKediri
  6. H. Ahmad Shiddiq– pengasuh Pondok Pesantren Ash-ShiddiqiyahJember
  7. H. As’ad Syamsul Arifin– pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus, Situbondo

2. Sunan Ampel 

Sunan Ampel adalah seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa. Ia lahir pada tahun 1401 di daerah ChampaVietnam. Beliau menjadi pemimpin Wali Songo menggantikan Sunan Gresik yang wafat pada tahun 1419. Sunan Ampel adalah Putra dari Syaikh Ibrahim As-Samarqandi dengan Dewi Candrawulan.

3. Kisah Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Murid Syekh Kholil

Kiai Hasyim Asy’ari : pendiri Nahdlatul ‘Ulama, pendiri Pondok Pesantren TebuirengJombang

Ketika awal nyantri, Hasyim Asy’ari muda disuruh naik ke atas pohon bambu, sementara Syekh Kholil terus mengawasi dari bawah sembari memberi isyarat agar terus naik dan tidak boleh turun sampai ke pucuk pohon bambu tersebut. Kiai Hasyim dengan takzim terus naik sesuai perintah gurunya. Begitu sampai di pucuk, Syekh Kholil mengisyaratkan agar Kiai Hasyim langsung loncat ke bawah. Tanpa pikir panjang Kiai Hasyim langsung meloncat dan selamat. Ternyata hal tersebut hanya ujian kepatuhan seorang santri kepada kiainya.

Sebagai murid, Kiai Hasyim tidak pernah mengeluh ketika disuruh apa pun oleh gurunya, termasuk ketika disuruh menggembalakan kambing dan sapi, mencari rumput dan membersihkan kandang. Ia menerima titah gurunya itu sebagai khidmat (dedikasi) kepada sang guru.

Selain itu, saat Syekh Kholil kehilangan cincin pemberian istrinya yang jatuh di kamar mandi, Kiai Hasyim memohon izin untuk mencarinya. Setelah diizinkan, sejurus kemudian beliau masuk ke septictank dan mengeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan. Betapa senang sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya hingga terucap doa: “Aku rida padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu.

4. Gus Dur

Abdurrahman Wahid merupakan anak dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Ia lahir pada tanggal 4 Syakban 1359 Hijirah. Dalam kalender Masehi, Abdurrahman Wahid lahir pada tanggal 7 September 1940.

 Tempat kelahirannya di pesantren milik kakek dari pihak ibunya yang bernama Bisri Syansuri. Pesantren ini terletak di Denanyar JombangJawa Timur. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”.[4] Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas“.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.[5] Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: AlisaYenny, Anita, dan Inayah.

Gus Dur  adalah tokoh Muslim dan politisi Indonesia yang menjadi Presiden keempat Indonesia dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Pada 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

5. Kisah Kiai Wahab Hasbullah sebagai Murid Syekh Kholil

Kiai Wahab Hasbullah Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang

Pada suatu hari di bulan Syawal, Syekh Kholil memanggil semua santri dan memerintahkan agar penjagaan pondok diperketat karena tidak lama lagi akan ada macan masuk ke pondok.  Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren ada hutan rimba, sehingga khawatir jika ada macan muncul dari hutan tersebut.

Setelah beberapa hari ternyata macan yang ditunggu-tunggu tidak juga muncul. Pada minggu ketiga, Syekh Kholil memerintahkan para santri untuk berjaga ketika ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren. Begitu sampai di depan rumah Syekh Kholil, pemuda itu mengucapkan salam. Mendengar salam pemuda tersebut, Syekh Kholil justru malah berteriak memanggil para santrinya “Hai santri-santri, macan! macan! Ayo kepung, jangan sampai masuk ke pondok.” Mendengar teriakan Syekh Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalakn komplek pondok.

Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Syekh Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di bawah kentongan yang ada di musala pesantren. Ketika tengah malam, dirinya dibangunkan dan dimarah-marahi oleh Syekh Kholil. Meski demikian, setelah itu dirinya diajak oleh Syekh Kholil ke rumahnya dan dinyatakan sebagai salah satu santri dari pondok yang beliau pimpin. Sejak itu, pemuda tersebut resmi sebagai santri pondok. Pemuda yang dimaksud itu adalah Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang diprediksi oleh Syekh Kholil menjadi kenyataan, Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi “Macan” NU.

6. K.H. Bisri Syansuri 

K.H. Bisri Syansuri adalah Murid Mbah Kholil

Kiai Haji Bishri Syansuri (18 September 1886 – 25 April 1980) seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fikih agama Islam.[butuh rujukan] Bisri Syansuri juga pernah aktif berpolitik, antara lain sempat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU. Ia adalah kakek dari Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat

Bisri Syansuri dilahirkan di Kecamatan Tayu, PatiJawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara.[butuh rujukan] Ia memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen, KH Fathurrahman bin Ghazali di Sarang Rembang, Syaikhona Muhammad Kholil di Bangkalan, dan KH Hasyim Asy’arie di Tebu Ireng, Jombang. Saat belajar tersebut ia juga berkenalan dengan rekan sesama santri, Abdul Wahab Chasbullah, yang kelak juga menjadi tokoh NU

Ia kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas.. Ketika berada di Mekkah, Bisri Syansuri menikahi adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah.[butuh rujukan] Di kemudian hari, anak perempuan Bisri Syansuri menikah dengan KH Wahid Hasyim dan menurunkan KH Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.

Sepulangnya dari Mekkah, dia menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Ia kemudian berdiri sendiri dan pada 1917 mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif. Syansuri menjadi ulama di Denanyar, Jombang. Saat itu, Bisri Syansuri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya

Di sisi pergerakan, ia bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem, dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Ia adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat

Pada masa penjajahan Jepang, Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya

Pada masa kemerdekaan ia pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Ia juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Setelah wafatnya KH Abdul Wahab Chasbullah, tahun 1972 ia diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama.[butuh rujukan] Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, ia pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Ia terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980

Bisri Syansuri dilahirkan di Kecamatan Tayu, PatiJawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara.[butuh rujukan] Ia memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen, KH Fathurrahman bin Ghazali di Sarang Rembang, Syaikhona Muhammad Kholil di Bangkalan, dan KH Hasyim Asy’arie di Tebu Ireng, Jombang. Saat belajar tersebut ia juga berkenalan dengan rekan sesama santri, Abdul Wahab Chasbullah, yang kelak juga menjadi tokoh NU

Ia kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas.. Ketika berada di Mekkah, Bisri Syansuri menikahi adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah.[butuh rujukan] Di kemudian hari, anak perempuan Bisri Syansuri menikah dengan KH Wahid Hasyim dan menurunkan KH Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.

Sepulangnya dari Mekkah, dia menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Ia kemudian berdiri sendiri dan pada 1917 mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif. Syansuri menjadi ulama di Denanyar, Jombang. Saat itu, Bisri Syansuri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya

Di sisi pergerakan, ia bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem, dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Ia adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat

Pada masa penjajahan Jepang, Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya

Pada masa kemerdekaan ia pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Ia juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Setelah wafatnya KH Abdul Wahab Chasbullah, tahun 1972 ia diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama.[butuh rujukan] Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, ia pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Ia terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980

7. Hamim Tohari Djazuli Gus Miek

Hamim Thohari Djazuli, akrab dipanggil Gus Miek(17 Agustus 1940 – 5 Juni 1993) atau paman dari Gus Kautsar. Gus Miek wafat pada 14 Dzulhijjah 1413 H adalah pendiri amalan dzikirJama’ah Mujahadah Lailiyah, Dzikrul Ghofilin, dan sema’an (mendengarkan) al-Qur’an Jantiko Mantab. Ia adalah anak kandung dari K.H. Ahmad Djazuli Utsman, pengasuh Pondok Pesantren Al Falah PlosoPlosoMojo, Kediri, Jawa Timur.

Ia terkenal sebagai seorang wali (kekasih Allah) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar Pesantren untuk berdakwah. Gus Miek juga terkenal sebagai wali yang memiliki banyak karomah (kelebihan). Gus Miek adalah putra ketiga dari enam bersaudara dari pasangan K.H Djazuli Utsman dan Nyai Rodhiyah. Amiek (panggilan masa kecil Gus Miek) lahir dan besar di Kediri. Ia tinggal di lingkungan bekas kantor penghulu yang telah ditebus orang tuanya dengan biaya 71 Gulden.

Gus Miek kecil adalah sosok yang pendiam dan suka menyendiri, berbeda dengan saudara-saudaranya dan teman sebayanya yang lebih senang dekat ibunya atau kepada para santri. Hal ini dapat dilihat bila seluruh keluarga berkumpul, ia selalu mengambil tempat yang paling jauh. Ketika kecil ia juga terkenal memiki suara yang merdu dan fasih pada saat membaca al-Qur’an. Pendidikan awal ia tempuh dengan masuk di Sekolah Rakyat (SR), namun tidak sampai selesai karena sering membolos. Dalam pendidikan belajar membaca al-Qur’an, Gus Miek dibimbing langsung oleh ibunya, kemudian ia diserahkan kepada Ustadz Hamzah. Sedangkan dalam pendidikan belajar kitab, Gus Miek beserta para saudaranya diajar langsung oleh ayahnya.

Pada umur 9 tahun, Gus Miek telah mengenal ulama-ulama besar. Beberapa ulama tersebut yang sering dikunjungi Gus Miek adalah K.H. Mubasyir Mundzir (PP. Ma’unah Sari) , Kediri; K.H. Ali Mas’ud (Gus Ud) PagerwojoSidoarjo; dan K.H. HamidPasuruan. Ketika berkunjung ke rumah Gus Ud di Sidorajo, untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu dengan K.H. Ahmad Shiddiq yang pada saat itu menjadi sekertaris pribadi K.H. Wahid Hasyim.[2][9] K.H. Ahmad Shiddiq inilah yang kelak sering menentang tradisi sufi Gus Miek namun ia juga yang kelak menjadi kawan karibnya di Dzikrul Ghofilin.

Pada umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, setelah K.H. Mahrus Ali datang menjemputnya di Ploso untuk memintanya belajar di Pondok Pesantren asuhan K.H. Mahrus Ali tersebut. Namun pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo hanya bertahan selama 16 hari dan kemudian Gus Miek kembali pulang ke Ploso.

Kepulangan Gus Miek yang mendadak ke Pondok Pesantren Ploso membuat orang tuanya resah karena ia tidak mau untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo. Namun Gus Miek mampu menunjukkan bahwa selama belajarnya di Pesantren Lirboyo ia melakukannya dengan sungguh-sungguh, ia membuktikan kepada orang tuannya dengan cara menggantikan semua jadwal pengajian yang biasa diampu oleh ayahnya di Pondok Pesntren Ploso. Gus Miek membuktikannya dengan mengajarkan berbagai kitab kepada para santri, yakni: kitab Tahrir (kitab fiqh tingkat dasar), Fathul Mu’in (kitab fiqh tingkat menengah), Jam’ul Jawami’ (kitab ushul fiqh), Fathul Qarib (kitab fiqh tingkat menengah), Shahih Bukhari (kitab hadis), Shahih Muslim (kitab hadis), Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur’an), Iqna (kitab fiqh penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib), Shaban (kitab tata bahasa Arab) dan Ihya’ Ulumuddin (kitab tasawuf). Pada saat inilah orang tuanya menyadari adanya karomah (kelebihan) kewalian pada diri Gus Miek.

Setelah menunjukkan kemampuannya kepada orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus Miek memutuskan untuk belajar lagi di Pesantren Lirboyo. Di pesantren tersebut ia cukup rajin dalam mengikuti pengajian. Namun ia mempuyai kebiasaan yang sulit dihilangkan sejak di Ploso, yaitu ketika santri lain sedang sibuk mengaji, ia hanya tidur dan meletakkan kitabnya di atas meja. Meskipun demikian, ketika gurunya mengajukan pertanyaan terkait materi yang telah disampaikan, Gus Miek selalu mampu menjawabnya dengan memuaskan.

 

Sabtu malam, 15/07/2023

Kegiatan Rutin Rijalul Ansor “Majelis Dzikir dan Sholawat” di Musholla Al-Ishlah

Sabtu malam Ahad, 10/06/2023

Kegiatan Rutin Rijalul Ansor “Majelis Dzikir dan Sholawat” di Musholla Bani Adam

WeCreativez WhatsApp Support
Jika Butuh Bantuan. Silahkan Bisa Menghubungi Kami.